Selalu Ada Persimpangan

Di dalam perjalanan mengikut Tuhan, selalu ada persimpangan. Di setiap persimpangannya, selalu ada jalan lain yang terlihat lebih enak dan nyaman.

“Jadi kaya itu gampang kok. Jadi berkenan sama Tuhan itu yang sulit.”

Beberapa hari ini saya teringat masa-masa kelulusan kuliah. Masa skripsi, sidang, yudisium, kelulusan, mencari pekerjaan, dan mendapat pekerjaan. Di semester 7-8 itulah Tuhan ungkapkan tentang panggilan hidup, sedikit demi sedikit.

Kalau kamu sudah merasakan kasih Tuhan Yesus bagi hidupmu, tentu kamu ngga mau kan ya hidupmu berlalu begitu aja dalam kemonotonan, kesia-siaan, mengejar sesuatu yang ngga pasti, dan sebagainya. Salib Yesus ada untuk memberi manusia hidup yang mulia dan pasti. Itu terlalu berharga untuk ditukarkan dengan hidup yang sia-sia dan ngga jelas ujungnya.

Saya sungguh-sungguh merasakan kasih Tuhan Yesus. Wow, amazing! Saya mau hidup saya dipakai untuk menggenapi panggilan hidup yang sudah Tuhan siapkan.

***

Tulisan ini saya dedikasikan untuk rekan kami, Gembala Sion Toraja, Hansdika Agustinus yang hidupnya telah memberkati saya dengan pemberian sepenuhnya untuk Tuhan, mengambil setiap risiko yang mungkin ada di depan demi memenuhi panggilan Tuhan.

Tulisan ini juga saya buat sebagai ungkapan terima kasih kepada kedua orang tua saya, yang (akhirnya) mendukung keputusan saya mengikuti jawaban doa. Dukungan kalian membuat saya menghidupi panggilan Tuhan.

***

Menjelang lulus, saya mulai berpikir tentang di mana dan apa yang akan saya lakukan setelah lulus kuliah nanti. Saya yakin semua mahasiswa tingkat akhir juga memikirkannya, itu normal hehe

Lalu, apa yang Tuhan katakan tentang itu?

Sejak akhir tingkat 2 perkuliahan sampai semester 8, Tuhan memang bukakan rhema-rhema tentang panggilan hidup. Walaupun awalnya sangat samar (blur), lama-lama Tuhan ungkapkan maksud-Nya dan membuat saya mengerti. (Cerita tentang ini akan saya tulis di artikel lain ya, supaya tidak kepanjangan.)

Di bulan Februari 2015, Tuhan memberikan saya mimpi tentang jiwa-jiwa di kampus saya, Univ. Parahyangan Bandung. Tidak hanya sekali, namun dua kali secara berturut-turut. Isi kedua mimpi ini hampir sama. Di situ saya melihat banyak orang yang satu per satu mati dengan cara yang tidak biasa. Saya mencoba menolong sebanyak mungkin orang yang saya bisa, namun masih saja banyak yang mati sebelum saya menggapainya. Butuh lebih banyak orang untuk menolong mereka.

Setelah terbangun, saya merenung dan berdoa. Tuhan ingatkan saya kembali tentang betapa rindu-Nya Dia menyelamatkan jiwa-jiwa. Belas kasihan atas kampus saya mengalir begitu deras dalam hati saya. Saya mulai berdoa syafaat bagi kampus saya.

Saya membuka alkitab dan Yesaya 66 berbicara sangat kuat untuk saya saat itu. Ayat demi ayatnya begitu merhema dan membekas, bahkan sampai saat ini.

Yesaya 66:7-8

(7) Sebelum menggeliat sakit, ia sudah bersalin, sebelum mengalami sakit beranak, ia sudah melahirkan anak laki-laki.

(8) Siapakah yang telah mendengar hal yang seperti itu, siapakah yang telah melihat hal yang demikian? Masakan suatu negeri diperanakkan dalam satu hari, atau suatu bangsa dilahirkan dalam satu kali? Namun baru saja menggeliat sakit, Sion sudah melahirkan anak-anaknya.

Saat itu, ayat ini saya highlight sebagai Janji Tuhan bagi kebangkitan rohani di atas kampus saya. Walaupun ngga tau bagaimana itu akan tergenapi, tapi saya yakin Tuhan tidak pernah gagal.

Di situ saya mulai merasa bahwa Tuhan ingin saya menetap di Bandung setelah lulus nanti. Mencari pekerjaan di Bandung sambil mengerjakan pelayanan atas kampus saya.

Tidak lama setelahnya, Gembala Sion Pusat, Bang Parlin, menghubungi saya dan meminta saya mendoakan tentang menjadi Gembala atas Sion Unpar. Beberapa hari saya berdoa, dan Tuhan berbicara semakin jelas bahwa saya harus di Bandung setelah lulus nanti. Saya yakin, dapatkan iman, dan memberikan jawaban kepada beliau. Saat itu saya belum lulus, masih skripsi, dan belum dapat pekerjaan. Hidup saya nantinya selama di Bandung bagaimana? Belum tahu juga. Tapi iman selalu bicara tentang hal-hal yang belum terlihat kan?

Namun, persimpangan itu mulai muncul. Ya, tidak pernah ada yang mulus ketika kita ikut Tuhan. Selalu muncul pilihan jalan-jalan lain yang terlihat lebih enak dan nyaman.

Suatu ketika, Ayah saya menghubungi saya dan menyampaikan kabar ‘gembira’.

“Glad, ada teman fotografi papi, arsitek di Jakarta, nawarin pekerjaan untukmu. Ngga perlu tes, kamu tinggal kirim CV dan interview, pasti keterima,” katanya.

“Pi, kayaknya Gladys akan cari kerja di Bandung dulu. Banyak yang bisa digali dari kantor-kantor arsitektur di sini,” jawab saya.

“Dicoba aja dulu.”

Kalau saya masukan CV, itu shortcut sih hehe Ngga perlu nyari-nyari lowongan pekerjaan lagi setelah lulus. Tapi bagaimana dengan rhema dari Tuhan yang saya dengar selama ini? Akhirnya saya menolak dan tidak memasukkan CV saya ke sana.

Setelah lulus, Agustus 2015, saya tidak langsung cari pekerjaan. Tuhan dorong saya untuk pergi bermisi dulu ke Bogor, sebelum melamar-lamar pekerjaan. Saya ngga masalah sih. Saya tahu Tuhan akan berikan pekerjaan terbaik kok. Taat sama Tuhan kan paket lengkap ya hehe, masalah penghidupan ngga ada yang perlu dikhawatirkan.

Selesai misi, saya mulai melamar ke sebuah kantor arsitektur Bandung. Kantornya dekat dengan kampus saya dahulu, jadi saya pikir akan mudah untuk bekerja sambil melayani. Saat memasukkan CV dan portofolio, pihak kantor ini sangat welcome dan mengatakan bahwa mereka memang sedang mencari tim tambahan. Saya langsung diinterview saat itu juga oleh ownernya. Kepastian diterima atau tidaknya akan dikabari via telepon.

Berminggu-minggu berlalu tanpa kabar, saya telepon untuk menanyakan kepastian. Ternyata pihak kantor menyatakan akan menunda penerimaan karyawan baru hingga tahun 2016, karena sedang dalam masa peralihan administrasi kantor. Ya, ini berarti saya harus cari lowongan pekerjaan lainnya.

Saya pun mencari dan memasukkan lamaran saya ke 2 perusahaan: sebuah kantor arsitek dan sebuah kantor kreatif, yang sesuai dengan passion dan kesukaan saya. Saya hanya mencari lowongan-lowongan yang ada di Bandung, bukan di kota lainnya, karena sudah jelas Tuhan ingin saya di Bandung. Mendaftar di kota-kota lain hanya akan membuat saya ‘lupa’ dengan jalan-Nya.

Sudah memasuki bulan November 2015 dan lamaran saya belum juga ditanggapi. Orang tua saya menyuruh saya kembali ke Jogja, rumah saya. Sebenarnya dari sejak lulus, mereka juga sudah menyuruh saya menanti panggilan kerja di Jogja saja. Namun karena sedang mencari lowongan maka mereka mengerti bahwa saya belum bisa pulang.

Alasan sebenarnya mengapa saya tidak pulang ketika itu adalah karena Tuhan suruh saya tenang dan melayani saja di Bandung. Setiap saya memikirkan pekerjaan saya, Tuhan selalu berikan ketenangan dan rhema bahwa Dia sudah sediakan pekerjaan terbaik.

Semakin hari, mereka semakin ingin saya balik ke Jogja. Saya mengerti sih orang tua pasti kepikiran tentang anaknya, karena sayang. Saya coba menjelaskan bahwa ada pelayanan yang harus dikerjakan di Bandung. Mereka tahu pelayanan saya, mereka pun tahu ada anak-anak yang saya pimpin. Namun chat demi chat, telepon demi telepon, obrolan demi obrolan – yang sempat diwarnai tangisan – datang menyuruh saya kembali ke Jogja.

Waktu itu, jujur saja, saya bingung. Walaupun saya yakin Tuhan mau saya di Bandung, tapi bagaimana dengan orang tua saya? Sementara sedang memikirkan ini, ada telepon masuk ke hp saya. Ternyata dari sebuah perusahaan kontraktor yang menawarkan saya pekerjaan. Jantung saya berdegup kencang, saya pikir, ”Cepet amat Tuhan kasih jalan keluar.” Haha Eh tapi, ternyata pekerjaan yang ditawarkan adalah menjadi pengawas proyek di Sumatera. Langsung saya tolak dengan menyatakan bahwa saya ingin bekerja di Bandung.

Perusahaan tersebut kemudian menawarkan pekerjaan lain, yaitu di Kalimantan. Jelas saya tolak kembali. “Kalau di Bandung sudah diisi posisinya. Coba Gladys pikirkan saja dulu ya. Kalau mau di Sumatera atau Kalimantan, SMS saya saja. Nanti saya kirimkan alamat kantor, Gladys bisa langsung datang dan bawa CV,” jelasnya.

Telepon ditutup. Chat dari orang tua masuk, kembali menyuruh pulang ke Jogja.

Terlintas di pikiran saya: Kalau yang dikhawatirkan orang tua adalah pekerjaan, bukankah ini jawabannya? Kalau tawaran ini saya terima, berarti tidak ada lagi kekhawatiran orang tua saya kan?

Tapi Tuhan ingatkan kembali tentang belas kasihan-Nya untuk kampus saya. Ah sudah. Saya pun kirim SMS ke Bapak tadi dan menyatakan bahwa saya tidak akan mengambil lowongan tersebut.

Keesokan harinya, saya putuskan untuk pulang ke Jogja, untuk meredakan suasana di tengah keluarga yang semakin ngga nyaman. Saya berniat menjelaskan panggilan saya ke orang tua. Baru saja saya sampai di Jogja, perusahaan kontraktor tersebut menelepon lagi. Katanya, “Gladys, kamu kemarin bilang ingin bekerja di Bandung ya? Ini ada salah satu orang kita yang mau dipindahkan, jadi ada 1 posisi di Jawa Barat yang kosong.” “Oh, begitu? Di mana, Pak?” tanya saya. “Di Garut.”

Huft. Kok di Garut haha kan Tuhan bilang di Bandung. Akhirnya saya tolak lagi. Pasti bukan ini jalan keluar yang Tuhan beri untuk saya. Saya yakin. Walaupun 4x kesempatan pekerjaan dilepas, tapi saya yakin Tuhan sudah siapkan pekerjaan yang tepat untuk saya.

Keesokan harinya, kantor arsitek yang pernah saya kirimkan surat lamaran, menelepon saya dan mengundang saya untuk tes di Bandung. Saya seneng banget! Saya mengucap syukur ke Tuhan. Baru 2 hari di Jogja, kok ya Tuhan bawa saya balik lagi ke Bandung haha

Akhirnya saya persiapkan diri untuk tes tersebut. Saya cari tahu berapa jumlah pelamarnya. Ada 232 orang. Saya kaget karena banyak sekali. Ada 180-an lulusan S1, 30-an lulusan S2, dan sisanya D3.

Kemudian saya kembali ke Bandung dan mengikuti serangkaian tesnya. Sebelum tes dimulai, saya berdoa sama Tuhan, “Tuhan, kalau Tuhan memang ingin aku di sini, buka jalan. Tapi kalau Tuhan ngga ingin aku di sini, tutup aja jalannya. Lebih baik ngga dapat pekerjaan ini daripada dapat tapi tidak berkenan pada-Mu.

Saya pun mengerjakan tes tersebut semaksimal mungkin yang saya bisa. Prinsip saya: Saya akan kasih yang terbaik yang saya bisa. Setidaknya kalau nanti gagal, saya tahu itu karena Tuhan tutup jalan, bukan karena saya tidak kasih yang terbaik.

Singkat cerita, beberapa jam setelah rangkaian tes selesai, kantor ini menelepon dan menyatakan bahwa saya diterima bekerja di sana dan bisa bekerja mulai minggu depan. Saya melonjak kegirangan! Tuhan baiikkkk. Dia luar biasa. Saya dapat pekerjaan di Bandung. Ajaib.

Mungkin sebagian kalian yang sudah bekerja tidak merasa bahwa keterima kerja adalah hal yang luar biasa. Tapi bagi saya, pekerjaan ini adalah jawaban iman saya. Pekerjaan ini lebih dari sekedar alat penghasil gaji. Ini adalah bukti bahwa Tuhan setia. Ketika Tuhan suruh saya melayani di Bandung, Dia juga pegang kendali atas penghidupan saya.

Screenshot_2017-04-16-10-40-34
Pekerjaan pertama saya sebagai Junior Architect di sebuah kantor konsultan Arsitektur dan Interior di Bandung.

Akhirnya orang tua saya mendukung keputusan saya. Walau pernah setelah saya mulai bekerja, kantor arsitek di Jakarta, kepunyaan teman Ayah, menelepon dan meminta saya mengirimkan lamaran ke sana. Saya jelaskan baik-baik bahwa saya sudah bekerja di Bandung. Puji Tuhan orang tua juga mengerti.

Saya menjalani pekerjaan saya dengan penuh syukur. Saya bisa melayani Tuhan, saya juga tidak kekurangan untuk penghidupan saya.

***

Lalu bagaimana ayat di Yesaya 66 tadi tergenapi?

Flashback ke masa saya menantikan pekerjaan di Bandung. Seorang teman dekat saya di kampus, Hansdika Agustinus, yang tahu bahwa saya masih di Bandung, mendatangi saya dan bercerita tentang hidupnya. Ingin curhat gitu lah haha Dia menyatakan bahwa belakangan dia merasa Tuhan panggil dia untuk keluar dari hidup yang sia-sia.

Kami bercerita-cerita. Lalu saya ajak dia untuk datang ke ibadah Sion Ministry dan masuk ke dalam pemuridan. Sejak saat itulah dia dimuridkan dan bertumbuh dengan pesat. Tuhan bekerja luar biasa dalam hidupnya.

Saya sering dibuat Tuhan terheran-heran dengan hidup teman saya ini. Betapa Tuhan mengasihi dan mengubahkan hidupnya. Hans, yang tadinya ambisius akan pencapaian-pencapaian dunia, kini meninggalkan semua kenyamanan dan gaji besarnya di Jakarta untuk pergi ke Toraja menggembalakan adik-adik di sana.

Beberapa bulan lalu, ada sebuah foto yang muncul di salah satu grup line saya. Foto pentahbisan Hans sebagai Gembala Toraja.

20170416103145
18 Februari 2017 – Pentahbisan Hansdika

Saat melihatnya, saya meneteskan air mata. Ada suara dalam hati saya, “Sudah digenapi.” Saya bingung, apa yang digenapi? Oh! Tuhan ingatkan saya akan janji yang Dia berikan ketika saya mendoakan kehidupan setelah lulus. Ya, ayat yang tadi saya kutip di awal tulisan ini.

Yesaya 66:7-8

(7) Sebelum menggeliat sakit, ia sudah bersalin, sebelum mengalami sakit beranak, ia sudah melahirkan anak laki-laki.

(8) Siapakah yang telah mendengar hal yang seperti itu, siapakah yang telah melihat hal yang demikian? Masakan suatu negeri diperanakkan dalam satu hari, atau suatu bangsa dilahirkan dalam satu kali? Namun baru saja menggeliat sakit, Sion sudah melahirkan anak-anaknya.

Oh Tuhan :”

Menulis ini pun saya menangis haha Luar biasa sekali Tuhan. Tuhan, Engkau sungguh hidup!

Selama ini bahkan saya ngga sadar kalau ayat ini sedang Tuhan genapi. Satu tahun kemarin saya di Bandung, saya pun ngga terlalu ngeh kalau Tuhan sedang lakukan sesuatu. Saya mungkin terlalu banyak melihat kegagalan-kegagalan saya dalam penggembalaan (jangan dicontoh). Padahal Tuhan tidak pernah ingkar akan janji-Nya.

Ya, seorang anak laki-laki dilahirkan, sebelum saya menggeliat sakit.

Dan ya, suatu negeri diperanakkan, ketika dia ke Taiwan untuk internship, yang walau hanya sebentar, namun melahirkan kelompok komsel di sana.

Dan sekali lagi ya, suatu bangsa dilahirkan, ketika dia memberi dirinya melayani jiwa-jiwa di Toraja.

***

Selalu ada persimpangan di dalam perjalanan kita mengikut Tuhan. Seperti ada saja kapal ke Tarsis, ketika Tuhan suruh Yunus ke Niniwe.

Kesaksian ini ngga akan ada jika saya mengirimkan lamaran kerja ke kantor teman Ayah di Jakarta, atau mengiyakan tawaran pekerjaan di Sumatera, Kalimantan, atau Garut. Saya mungkin tidak akan berkonflik dengan orang tua, saya juga mungkin dapat gaji yang lebih besar. Tapi saya tidak akan bisa melihat pekerjaan Tuhan yang begitu luar biasa dengan mata saya sendiri, saya ngga akan bisa merasakan perasaan seperti yang saat ini saya rasakan.

Selalu ada godaan untuk tidak taat. Entah kenapa selalu ada. Jalan mana yang kamu ikuti?

 


3 thoughts on “Selalu Ada Persimpangan

Leave a comment